Tugas ini di buat waktu kelas X SMA :D
MATAHARIKU
Mentari
pagi yang indah dan sangat menyilaukan langsung menerobos melalui
jendela kamarku. Aku terbangun dari mimpi indahku, kemudian membuka
mata lalu menyipit kesilauan.
“Akhirnya datang jugaaa!!”
Dengan
bersemangat aku beranjak dari tempat tidurku dan langsung menuju ke
balkon di kamarku untuk menghirup segarnya udara pagi ini.
“Huaaaahh.....!!!”,
gumamku sambil merentangkan kedua tangan. Burung-burung berkicau riang
seolah menyambut datangnya pagi yang indah ini. Hari ini adalah hari
pertamaku sebagai siswi SMA. Aku merasa sangat senang dan begitu
bersemangat. Rasanya tidak sabar untuk menjalani hari ini.
Namaku
Pricilla Aurellia. Biasanya dipanggil Lala. Sekarang, aku siswi kelas 1
SMA di salah satu SMA favorit di kotaku. Aku sangat bersyukur atas
kehidupanku saat ini, aku memiliki orangtua yang sangat menyayangi dan
selalu memberikanku dukungan, aku juga mempunyai sahabat yang selalu
ada untukku, dan juga pacar yang sangat aku cintai. Wajahku lumayan
manis, kulitku putih, rambutku lurus panjang dan berwarna agak
kecokelatan. Aku bertubuh mungil. Aku tamatan dari salah satu SMP
favorit, disana aku termasuk siswi berprestasi. Semoga di SMA aku juga
masih bisa menjadi siswi berprestasi. Aku merasa kehidupanku begitu
sempurna saat ini dan aku sangat bersyukur pada Tuhan atas karuniaNya
itu.
“Lala.....!!!! Cepat mandi....”, teriak mamaku.
“Iya maa....!”, sahutku dan langsung menuju kamar mandi.
Aku
pun langsung mandi dan berpakaian. “Yeee! seragam putih abu-abu.
Akhirnya aku sekarang adalah siswi SMA. Good bye putih biru!”, sorakku
dalam hati.
“Lala...! Sarapannya sudah siap. Cepat sarapan, nanti telat lho!”, teriak mama lagi.
“Iya maa, bentar lagi Lala sarapan”
Aku pun berlari menuju meja makan dan menyantap nasi goreng buatan mama yang sangat lezat.
“Tiit...tiiit”
suara klakson mobil berbunyi dari depan rumahku. Itu pasti Aldo! Ya,
Aldo adalah pacarku saat ini. Kami berpacaran semenjak kami lulus SMP,
kurang lebih dua bulan yang lalu. Kami berasal dari SMP yang sama dan
sekarang kami juga bersekolah di SMA yang sama.
Aku
langsung cepat-cepat menyelesaikan makanku lalu memakai sepatu dan
langsung menuju depan rumah. Tidak lupa aku menyalami tangan dan
mencium kedua pipi orangtuaku.
“Ma, pa, Lala berangkat sekolah dulu ya”
“Iya, hati-hati di jalan, bilang ke Aldo jangan ngebut ya”, pesan mama.
“Iya ma”, ucapku dan langsung berlari ke depan rumah. Kemudian aku pun masuk ke dalam mobil Aldo.
“Pagi cantik”, ucap Aldo.
“Pagi juga”, jawabku sambil tersenyum.
Aldo
mulai menjalankan mobilnya dan melaju meninggalkan rumahku. Sepanjang
jalan, seperti biasa kami mengobrol sambil bercanda satu sama lain.
Sesampainya
di sekolah, Aldo langsung memarkir mobilnya, kemudian kami berjalan
beriringan memasuki gedung SMA Permata Bangsa. Dan, inilah sekolah
baruku. Gedungnya memang tidak sehebat SMPku, tapi sekolah ini
merupakan sekolah bertaraf internasional. Itulah yang membuatku
tertarik bersekolah disini. Walaupun harus berpisah dengan sahabatku
yang bersekolah di SMA lain. Aku harap kehidupanku di sekolah ini bisa
semenyenangkan di sekolahku yang dulu.
“Teng...teng...teng...”,
bel tanda masuk berbunyi. Aku dan Aldo pun berpisah, kemudian masuk
kelas masing-masing. Aku dan Aldo pisah kelas, aku di kelas 10-1 dan
Aldo di kelas 10-3.
***
Dua
bulan sudah aku menjadi siswi SMA. Kehidupan SMA ku lumayan
menyenangkan. Aku mendapatkan teman-teman yang sangat seru dan kami pun
mulai akrab. Tapi, aku dan Aldo mulai sering bertengkar. Cuma gara-gara
hal sepele sih, misalnya aku lagi ngobrol dengan teman sekelasku yang
cowok, nah si Aldo langsung cemburu. Berantem deh kita. Terus ya, si
Aldo mendadak jadi sok sibuk. Nyebelin deh!
“La, hari ini aku nggak bisa nganterin kamu pulang soalnya aku ada eskul pas pulang sekolah. Gak papa kan?”, kata Aldo.
“Iya, gak papa”, ucapku.
Pada
suatu hari, tepatnya pada hari jadi kami yang ke 4 bulan, Aldo janji
ngajakin aku jalan pas pulang sekolah. Katanya mau ke tempat yang
spesial. Aku jadi tidak sabar menunggu waktu pulang sekolah. Satu jam
sebelum pulang sekolah, tiba-tiba Aldo mengirimiku sms.
“La, maaf ya kayaknya hari ini kita gak jadi pergi deh. Soalnya aku ada rapat osis”, katanya.
“Oh, ya uda deh”, balasku dengan kecewa.
Makin
hari Aldo semakin sibuk dengan kegiatannya. ESKUL, OSIS, ESKUL, OSIS.
Aaaaaaargh, menyebalkan. Saking sibuknya dengan kegiatannya itu, makin
hari dia makin gak ada waktu buat aku. Kita jarang ketemu, padahal satu
sekolah. Kita udah jarang pergi pulang sekolah bareng. Kita juga jarang
komunikasi, bahkan sekedar sms dan telpon pun jarang. Aku juga udah gak
pernah dapat perhatian dari dia lagi. Aldo berubah, tidak seperti Aldo
yang dulu lagi. Aku ngerasa kita tuh kayaknya jauuuuh banget. Sekarang
kayaknya aku udah bukan sesuatu yang penting lagi bagi dia. Aku
benar-benar gak tahan.
“Sayang...”, tiba-tiba Aldo menelponku.
“Ya.. kenapa?”, jawabku.
“Gak papa, kangen aja”, balasnya.
“Oh”, jawabku singkat.
“Singkat banget ngomongnya? Kenapa? Marah ya sama aku?”
“Gak kok. Gak papa. Tumben nelpon?”
“Emangnya gak boleh?”
“Haha. Biasanya kan kamu s-i-b-u-k sibuk.”
“Kok kamu ngomong gitu sih?”
“Tapi emang sibuk kan, sampe lupa sama pacarnya.”
“Kamu tuh kenapa sih? Ya gak mungkin lah aku lupa sama kamu.”
“Tau nggak sih tiga hari ini aku sedih banget karena gak dapat kabar dari kamu? Kamu kemana aja sih? Bisa-bisanya kamu gak ngasi aku kabar sama sekali? Bisa-bisanya kamu ngilang gitu aja?”
“Maaf, kamu kan tau kesibukan aku sekarang.”, jawabnya enteng.
“Oke,
aku tau dan sangat tau. Aku sadar sekarang, kesibukanmu itu lebih
penting daripada aku kan? Aku tau aku memang bukan hal yang penting
lagi bagi kamu.” balasku
“KAMU
KOK EGOIS SIH! NGERTIIN AKU DIKIT KENAPA!”, bentaknya dan membuatku
cukup kaget dan sangat emosi. Dia pikir dia gak egois? Dia kan selalu
mementingkan dirinya sendiri? Ngertiin dia? Selama ini aku udah cukup
berusaha untuk ngertiin dia, tapi dia? Apa dia juga ngertiin aku? Aku
udah cukup bersabar beberapa bulan ini. Kali ini aku sudah tidak bisa
bersabar lagi.
“EGOIS?
Kamu pikir kamu nggak EGOIS? Selama ini kamu yang egois! Selalu
mementingkan diri kamu sendiri! Ngertiin kamu? Selama ini aku udah
beusaha untuk ngertiin kamu dan segala kesibukan kamu! Tapi kamu? Apa
kamu ngertiin aku?”, ucapku meluapkan semua emosiku yang tertahan
beberapa bulan ini.
Aldo
terdiam mendengar perkataanku. Aku pun langsung menutup telpon. Dadaku
sesak dan sakit. Air mata mulai menggenangi pelupuk mataku. Aku
menangis. Aldo benar-benar sudah berubah, bukan Aldo yang biasa aku
kenal, bukan Aldo yang selalu membuatku tersenyum dan tertawa, bukan
Aldo yang selalu ada untukku, aku sangat merindukan Aldo yang dulu.
***
Dua
hari berlalu semenjak pertengkaran di telepon itu. Dua hari pula aku
dan Aldo tidak berkomunikasi sama sekali. Kalau tanpa sengaja
berpapasan di sekolah, Aldo pura-pura tidak melihatku. Rasanya sangat
menyakitkan.
Pada
hari ketiga, setelah jam istirahat pertama, Aldo mengirimiku sms. Aku
pun tersenyum. Langsung cepat-cepat aku membuka sms darinya itu.
Ternyata itu adalah sms bencana untukku.
“Kita
udah gak cocok, jadi kita putus”, ucap Aldo. Membaca sms itu membuatku
dadaku serasa teriris pisau kemudian lukanya ditetesi cuka. Sakit.
Perih. Belum pernah aku merasa sesakit ini. Sepanjang pelajaran aku
benar-benar tidak bisa berkonsentrasi. Aku berusaha tetap tegar dan
tersenyum. Satu hal yang kuinginkan sekarang : PULANG! Masih empat jam
lagi waktu pulang sekolah. Empat jam terlama yang pernah aku rasakan.
Sepulang
sekolah aku langsung membuka facebookku, Aldo sudah mengubah status
hubungannya menjadi lajang dari 4 jam yang lalu. Karena sudah tidak
tahan lagi, air mataku tumpah meluapkan seluruh kekesalanku pada Aldo.
Langit yang sedari tadi mendung pun mulai ikut menangis. Aku menangis
karena aku terlalu kesal pada Aldo. Aku tidak menyangka segampang itu
dia meninggalkanku hanya dengan alasan sederhana : “kita udah gak
cocok”. Aku sangat terpukul atas kejadian hari ini.
Kemudian
aku menelpon sahabatku, Rena. Rena dan aku berbeda sekolah, ia
sahabatku sejak kelas 1 SMP. Rena adalah sahabat terbaikku. Hanya dia
tempat aku bisa bercerita apapun. Aku menceritakan semuanya pada dia.
Aku tau saat ini Rena berusaha untuk menghiburku, tapi aku tetap tidak
bisa melupakan kesedihanku.
Sebulan
telah berlalu semenjak aku dan Aldo putus. Aku masih dalam suasana
berduka. Setiap hari aku selalu membaca sms-sma lama dari Aldo yang
masih aku simpan di handphoneku. Dari awal sampai sms terakhir yang
menghancurkan hidupku. Sms yang membuat aku menangis hampir setiap
malamnya. Aku tidak mengerti mengapa aku menjadi begitu cengeng hanya
gara-gara hal ini.
Jujur,
entah mengapa tanpa kehadirannya dihidupku, aku merasa sendiri. Aku
kesepian. Aku merasa kosong. Mungkin aku hampir gila sekarang, aku
begitu menginginkannya, begitu merindukannya. Aku selalu berkhayal dia
ada disisiku. Aku selalu bermimpi tentang dia. Sampai sekarang aku
tidak mengerti apa yang bisa membuat dia berubah sejauh ini? Aku lelah
memikirkannya.
***
Wali
kelas memanggilku untuk mengikuti seleksi pertukaran pelajar di
Australia untuk mewakili sekolahku. Aku memutuskan untuk mengikuti
seleksi itu dan ternyata aku LOLOS! Selama satu bulan aku akan berada
di Australia bersama beberapa siswa dari SMA lain. Aku sangat senang.
Semoga dengan kesibukanku aku bisa melupakan Aldo.
Hari keberangkatan pun tiba, aku diantar oleh kedua orangtuaku dan Rena ke bandara.
“Hati-hati ya nak disana”, kata papa sambil mengacak rambutku.
“Iya pa, tenang aja. Lala pasti bakalan baik-baik aja disana”, ucapku sambil tersenyum.
“Jangan telat makan ya, nanti maagnya kambuh. Kalau ada apa-apa langsung telpon mama”, kata mama.
“Hati-hati
ya La, bakalan kangen nih aku sama kamu. Oleh-olehnya jangan lupa ya
untuk sahabatmu tercinta ini”, kata Rena sambil memelukku.
“Iya, iya. Lala berangkat dulu ya semuanya. Dadaaah!.”
***
Sebulan
telah berlalu, aku pun telah kembali ke Indonesia. Selama pertukaran
pelajar aku banyak mendapatkan pelajaran berharga. Sekarang bahasa
Inggrisku sudah lumayan lancar, disana aku juga banyak mendapatkan
teman baru. Yang lebih penting lagi, aku sudah tidak terlalu memikirkan
Aldo.
Aku
masih memiliki waktu 1 hari untuk beristirahat dirumah. Rasanya malas
untuk kembali ke sekolah dan kembali ke aktivitas biasa.
Sesampainya
di rumah, mang Udin membukakan pagar kemudian membawakan
barang-barangku ke dalam rumah. Aku disambut oleh kedua orangtuaku.
Kemudian kami makan siang bersama.
Setelah
itu aku langsung menuju ke kamarku.“Huaaaaah! Akhirnya kembali ke
kamarku yang supernyaman!”, ucapku sambil merebahkan diri di tempat
tidur. Dalam waktu kurang dari lima menit aku sudah tertidur pulas.
“La....!
Bangun, udah malam nih. Mama udah nyiapin makan malam yang enak loh
buat kamu”, kata mama sambil mengguncang-guncangkan tubuhku.
“Bentar lagi ma, masih ngantuk.”
“Ayo bangun, jadi cewek nggak boleh malas”
“Iya deh”, dengan terpaksa akhirnya aku bangun kemudian makan, setelah itu mandi.
Waktu masih menunjukkan pukul delapan malam, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Rena untuk memberikan oleh-oleh untuknya.
Sesampainya
di rumah Rena, aku sangat kaget karena di depannya sudah terparkir
mobil Aldo. Aku tidak mengetuk pintu dulu karena pintunya sudah
terbuka. Jadi aku langsung masuk ke rumah Rena dan menuju ke ruang
tamu. Dan aku menemukan kejutan hebat. Betapa terkejutnya aku melihat
Rena dan Aldo sedang berpelukan dengan mesra. Aku diam terpaku
menyaksikan adegan romantis di depan mataku.
“Rena!? Aldo!?” panggilku syok.
“Lala?!”
ucap mereka berbarengan tak kalah syoknya denganku. Rena menatapku
dengan kaget kemudian langsung menjauhkan dirinya dari Aldo.
“La,” Rena mulai mendekatiku. Aku mengangkat tangan, menahan agar ia tidak mendekatiku.
“Bagaimana bisa kalian setega ini padaku?” ucapku dengan suara tercekat. Air mataku jatuh begitu saja.
“La, biar aku jelasin...”
“Nggak
perlu,” kataku terisak. Rena terlihat pucat dan wajahnya memancarkan
kekhawatiran. Aku langsung berlari keluar rumah, Rena dan Aldo
mengejarku. Lalu aku berhenti, “Jangan dekati aku!”.
“Tunggu La, dengerin penjelasan aku dulu” kata Rena.
“Udalah,
gak ada yang perlu dijelasin lagi” ucapku langsung masuk ke mobil dan
mengendarainya pergi. Angin berhembus kencang, petir mulai bergemuruh.
Seperti tersambar petir, dadaku pun ikut bergemuruh. Detik berikutnya
hujan turun dengan lebatnya. Aku terus mengendarai mobilku tanpa
tujuan. Sakit yang kurasakan saat ini sungguh tak terlukiskan.
Bagaimana bisa aku dikhianati dua orang yang aku sayangi sekaligus?
Aku
membelokkan mobilku ke sebuah taman yang sepi. Aku duduk di bangku
paling ujung di taman itu ditemani oleh hujan yang membasahi tubuhku.
Tak seorangpun yang berada di taman itu, aku sendirian. Kemudian aku
menangis sejadi-jadinya disana.
“Tuhan,
aku sudah tidak sanggup dengan semua ini. Kapan semua kesedihan dan
kesakitan ini bisa berakhir? Katanya Tuhan tidak akan memberikan cobaan
yang melebihi kemampuan umatnya? Aku sudah tidak sanggup dengan cobaan
yang engkau berikan” air mataku mengalir deras.
“Aku...”
tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku. Aku terkejut dan menoleh ke
belakang. Seorang lelaki bertubuh tinggi berdiri di belakangku sambil
memegang payung.
“Fajar? Kok ada disini?”, kataku. Ternyata ia adalah Fajar. Fajar adalah
kenalanku waktu mengikuti pertukaran pelajar di Australia. Ia adalah
perwakilan dari SMA Pelita Harapan. Aku dan Fajar paling sering berbeda
pendapat dalam hal apapun sehingga kami sering bertengkar. Pokoknya
tiap hari seperti tom and jerry.
“Disebelah sana kan rumahku, lah kamu ngapain disini? Ujan-ujanan lagi kayak orang gila.”
“Gak ngapa-ngapain, Cuma iseng aja ke taman ini.”
“Ya udah yuk kerumah aku aja, daripada kamu sendirian disini kayak orang gila”.
“Gak, nggak usah”.
“Ayoook,
ikut aku aja. Udahlah basah kuyup, kayak tikus kecebur got aja. Kamu
kedinginan kan? Nanti sakit loh” ucap Fajar sambil menyeretku. Mau
tidak mau aku mengikuti langkah Fajar. Sampailah pada sebuah rumah yang
bisa dibilang mewah. Fajar mempersilahkanku masuk kemudian memberikan
handuk dan menyuguhkan teh hangat.
Tidak kusangka ternyata Fajar baik hati. Soalnya selama ini dia selalu bertingkah menyebalkan dan membuatku naik darah.
“Makasih ya Jar” ucapku dengan senyuman tipis.
“Oke oke. Ngapain sih kamu malam-malam keluyuran? Mana ujan lebat lagi. Gak baik tau.”
“Hehe”, aku hanya tersenyum pahit.
“Kok kamu agak beda ya? Gak kayak biasanya?”
“Beda gimana?”
“Pokoknya beda deh. Kayak gak bersemangat gitu. Lagi ada masalah?”
“Iya”
“Hmm.. kalo boleh tau masalah apa sih? Siapa tau aku bisa bantu?”
“Yah
biasalah masalah percintaan anak SMA”, kemudian aku menceritakan
semuanya pada Fajar. Entah kenapa aku bisa begitu terbuka padanya.
Padahal biasanya aku lebih memilih memendam sendiri masalahku daripada
menceritakannya pada orang lain, apalagi menceritakan pada orang yang
belum lama ku kenal. Satu persatu kata mengalir dari mulutku. Aku
bercerita pada Fajar sambil menangis, aku menceritakan semua beban yang
kupikul selama beberapa bulan terakhir ini.
“Sabar
aja, Tuhan pasti punya rencana lain yang lebih baik. Kamu gak bisa
terus-terusan seperti ini, kamu harus bangkit. Semua hal yang terjadi
pasti ada hikmahnya. Kamu gak boleh membenci mereka, karena semakin
kamu membenci mereka itu akan menambah beban di diri kamu. Sekarang
berfikirlah positif dan coba buat mengikhlaskan semua hal yang sudah
terjadi.”
Aku terpaku dan terdiam cukup lama, merenungkan kata-kata Fajar yang memang ada benarnya.
Satu
jam berlalu, hujan pun telah berhenti. Aku memutuskan untuk pulang ke
rumah. Setelah bercerita pada Fajar tadi, aku merasa lega. Aku merasa
beban berat yang kurasakan mulai berkurang. Aku masih terngiang dengan
kata-kata yang Fajar ucapkan setelah mendengar ceritaku tadi.
Aku
mengecek handphoneku, ada puluhan sms dan panggilan tidak terjawab dari
Rena dan Aldo. “Maaf” Cuma itu inti dari semua pesan mereka. Haruskah
aku memaafkan mereka yang sudah begitu tega menyakitki hatiku? Ya, aku
tau aku memang harus memaafkan mereka, tapi tidak sekarang.
***
Semenjak
hari itu, aku jadi akrab dengan Fajar. Semakin hari kami tambah akrab.
Kehadiran Fajar dihidupku sedikit demi sedikit mulai menghilangkan
sakit hatiku karena Aldo dan Rena. Fajar bagaikan mentari yang membuat
hidupku kembali bersinar.
Sedikit demi sedikit aku mulai bisa memaafkan Rena. Mungkin besok aku akan menemui Rena untuk berbaikan dengannya.
Kringg...kriiing...
“Duuuuuh! Siapa sih yang nelpon malam-malam gini?” dengan malas aku mengangkat telepon. “Halo.”
“La..” panggil suara yang sangat kukenal itu dengan ragu. Jangan dia, jangan dia, aku belum siap.
“Hm.. ya?” sahutku takut.
“Ini
Rena.” Memang dia. Selama ini telepon dan sms dari Rena masih
kuabaikan, bahkan saat dia datang kerumahku aku tidak mau bertemu
dengannya.
“Oh” sahutku.
“Apa kabar?’
Aku hanya diam.
“La...” Rena memanggilku dengan pelan. “Kamu masih marah ya?” tanyanya dengan takut.
Aku masih diam.
“Aku...aku
minta maaf ya. Aku gak tau harus berapa kali lagi minta maaf agar kamu
mau maafin aku dan kita bisa kayak dulu lagi. Aku gak tau lagi harus
minta maaf kayak gimana lagi sama kamu, La.”
“Udalah” sahutku akhirnya.
“Tolong
dengerin penjelasan aku, La. Aku tau kamu masih sayang sama Aldo. Aku
gak pernah berencana untuk naksir dia, aku bersumpah. Semua terjadi
begitu aja. Aku gak tau sejak kapan perasaan itu mulai tumbuh” kata
Rena dengan tangis.
“Kenapa kamu gak pernah cerita ke aku? Kenapa kamu gak terus terang?”
“Maaf,
waktu itu aku gak mau ngebuat kamu tambah sedih, La. Aku menunggu waktu
yang tepat buat ngasi tau ke kamu. Kamu sahabatku La.”
“Sahabat yang tega membohongi sahabatnya” sahutku.
“Ma...ma...af La. Aku bersedia ngelakuin apapun asal kamu mau maafin aku. Apapun.”
“Ya
udalah. Aku gak mau memperpanjang masalah. Aku juga udah mulai ikhlas
atas kejadian ini dan menerima kenyataan. Hati aku memang masih sakit,
tapi mungkin waktu yang bisa menyembuhkannya.”
“Makasih, La. Makasih kamu tidak membenciku.”
“Semarah apapun aku, aku akan coba maafin kamu, karena kamu adalah sahabatku satu-satunya.”
“Sekali lagi maafin aku ya, La.”
Aku tersenyum dalam ketenangan. Air mataku mulai menetes.
“La, kamu mau kan datang ke pesta ulang tahunku lusa?”
“Pasti” ucapku mantap.
Akhirnya aku berbaikan dengan Rena.
***
Keesokan paginya, aku dan Fajar lari pagi. Aku bercerita tentang obrolanku dan Rena di telepon semalam.
"Bagus dong kalo kalian udah baikan."
"Jar,
hari ini ulang tahun rena dan aku diundang ke pestanya nanti malam.
Kayaknya aku belum siap ketemu Rena deh. Apalagi kayaknya bakalan ada
Aldo.”
"Nyantai aja lagi. Anggap kayak gak pernah terjadi apa-apa sama kalian."
"Tapi susah, Jar. Aku takut aku gak kuat."
"Yaudah aku temenin. Mau?"
"Gak ngerepotin?"
"Nggak kok, tenang aja" kata Fajar sambil tersenyum tulus.
***
Di pesta ulang tahun Rena...
"Happy birthday Ren", kataku.
"Makasih ya kamu udah mau dateng", kata Rena kemudian langsung memelukku.
"Oh iya, ini buat kamu", kataku dan memberikan sebuah kado untuk rena.
"Makasih ya, La. Ngomong-ngomong ini siapa? Pacar baru ya?"
"Bukan kok, ini teman aku. Kenalin ini Fajar."
"Hai jar, aku Rena", Fajar dan Rena berjabatan tangan.
Tak
lama kemudian datanglah seseorang yang sangat aku kenal dan paling aku
hindari selama beberapa bulan ini. Ya, dia Aldo. Aku dan Aldo sempat
beradu pandang, kemudian aku menunduk. Fajar yang mengetahui aku mulai
aneh langsung mengajakku pergi dari situ.
"Yuk La, kita ambil minuman"
"Iya" ucapku langsung mengikuti langkah Fajar.
Sepanjang
pesta aku hanya terdiam. Apalagi pada saat melihat Aldo memberikan Rena
sebuah kalung sebagai kado ulang tahunnya. Rasanya aku ingin menangis
menyaksikan adegan romantis itu. Seharusnya aku yang berada di posisi
Rena, seharusnya itu aku. Aku hampir meneteskan air mata saat menyadari
hal itu sudah tidak mungkin terjadi padaku lagi. Kemudian Fajar
menggenggam tanganku dengan erat dan mengajakku pulang.
Sebulan
telah berlalu. Aku sudah bisa mengikhlaskan Rena bersama Aldo. Hidupku
kini kembali normal. Sekarang aku dan Fajar sangat akrab.
Fajar,
Fajar, Fajar. Orang yang paling mengerti perasaanku saat ini. Orang
yang selalu ada kapanpun saat aku membutuhkannya. Orang yang bisa
membuatku tertawa setelah beban berat yang menimpaku belakangan ini.
Dialah orang yang berhasil membuatku bangkit dari keterpurukan. Dia
bagaikan matahari yang membuat hidupku kembali bersinar. Aku selalu
merasa bahagia apabila berada dekat dengannya. Jujur, aku mulai
menyukainya.
Pada
suatu pagi, seperti biasa aku dan Fajar lari pagi. Kemudian aku dan
Fajar singgah di taman dekat rumah Fajar. kami duduk tepat di bangku
paling ujung tempat kami bertemu beberapa bulan yang lalu.
"Huaah, capeknya!" kataku.
Kami mengobrol ringan kurang lebih 15 menit, kemudian tiba-tiba Fajar terdiam, aku pun terdiam. Kami terdiam cukup lama.
"La, a..aku pengen ngomong sesuatu" kata Fajar dengan agak terbata-bata.
"Apa?" kataku.
"Emm".
"Mau ngomong apa sih?" tanyaku penasaran.
"Begini. Aku.."
"Apa sih?" aku semakin penasaran. "Mending cepat deh ngomongnya, udah siang nih"
"Ya udah gak jadi. Kita pulang aja yuk", katanya.
Aku langsung berdiri dari bangku dan mau pulang, tiba-tiba Fajar memegang tanganku.
"La,
aku suka kamu. Mau nggak jadi pacarku?" muka Fajar memerah. Aku terdiam
beberapa saat, terkejut dengan kata-kata Fajar barusan.
"La?" tanya Fajar.
Aku masi terdiam.
"Hoy!" Fajar mengagetkanku. Aku pun langsung tersadar.
"Ehh. Jangan bercanda deh. Gak lucu tau."
"Aku serius, La." kata fajar sambil menatapku tajam. "Kamu mau gak jadi pacar aku?"
"Maaf", kataku kemudian menggeleng pelan.
"Oh yaudah. Yuk pulang", kata Fajar dengan wajah kecewa.
"Aku belum selesai ngomong tau. Main pulang aja. Maaf, aku nggak bisa nolak jadi pacar kamu."
"HAH?"
"Iya" ucapku sambil tersenyum.
Matahari
pagi menjadi saksi cinta aku dan Fajar. Fajar, dialah matahariku. Saat
duniaku seakan gelap gulita, dia datang memberikanku setitik cahaya
yang membuat duniaku kembali bersinar.
(terinspirasi dari novel my sky, cerita pribadi, sisanya mengarang bebas :D)